ETIKA PROFESI TENTANG ETIKA DAN MORALITAS
NAMA : LM. FARID MUHARAM
NPM : 16 630 087
Etika dan Moralitas
Pengertian Etika
1.Etika merupakan kata benda abstrak yang bersifat umum. Secara khusus penggunaan kata etika ialah misalnya etika profesi, kode etik, perilaku etis. Etika berasal dari bahasa Latin (ethicus) yang berarti karakter atau berperilaku. Berbagai definisi atau pengertian etika :
2.Nilai, norma, dan moral yang dijadikan pegangan orang/kelompok. (Bertens 1993)
3.Kumpulan azas/nilai moral dan kode etik
Ilmu tentang perbedaan tingkah laku yang baik dan buruk dalam kehidupan manusia.
4.Cara manusia memperlakukan sesama dan menjalani hidup dan kehidupan dengan baik, sesuai aturan yang berlaku di masyarakat. (Algermond Black 1993)
5.Yang paling sederhana: Perilaku standar yang dirumuskan oleh suatu ras atau bangsa.
6.Pengetahuan tentang moral, pengembangan studi tentang prinsip-prinsip tugas manusia.
7.Pengetahuan tentang filsafat, atau pengetahuan tentang perilaku moral. Perilaku moral artinya perilaku yang mempertimbangkan baik dan buruk, atau tentang apa yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
8.Pengetahuan tentang kewajiban moral, atau lebih luas lagi, pengetahuan tentang perilaku manusia yang ideal dan hasil akhir tindakan manusia yang ideal.
9.Kamus Bahasa Indonesia : Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang tidak sesuai dengan ukuran moral atau akhlak yang dianut oleh masyarakat luas.
10.Ukuran nilai mengenai apa yang salah dan benar sesuai dengan anggapan umum (anutan) masyarakat.
Dari kata etik (bahasa Inggris: ethics) atau etika telah diturunkan :
a.Etiket (dari bahasa Belanda), yaitu carik kertas yang ditempelkan pada kemasan barang-barang dagang yang bertuliskan nama, isi, dan aturan penggunaan barang itu.
b. Etiket (dari bahasa Perancis: etiquette), ialah adat sopan santun atau tata krama yang perlu selalu diperhatikan di pergaulan agar hubungan selalu baik.
c. Etichals (Inggris), ialah golongan obat yang tidak boleh dijual tanpa resep, yaitu Obat Daftar G dan O..
Sejarah Etika
Telaah etika sebagai suatu pengetahuan dapat ditelusuri sampai kurang lebih 2500 tahun silam pada saat Socrates (seorang filsuf) mengungkapkan etika itu sebagai sesuatu yang diatur oleh prinsip-prinsip yang mendapat pengakuan umum masyarakat, yaitu bahwa ”sesuatu yang dianggap baik oleh seseorang juga baik bagi semua orang, dan apa yang menjadi kewajiban tetangga juga menjadi kewajiban saya” (Socrates 470-347 SM adalah ahli pikir/filosof Yunani yang meletakkan dasar-dasar filsafat).
Bukan berarti bahwa pada zaman Yunani kuno itu diciptakan pengetahuan tentang etika. Yang benar ialah bahwa pada waktu itu mereka telah mengembangkannya secara ilmiah dan terorganisasi dalam usaha mempelajari cara hidup dan perilaku manusia. Telah diketahui pula bahwa jauh sebelum zaman itu masyarakat kuno telah mengenal kebiasaan-kebiasaan, peradaban, ritus dan upacara-upacara yang menunjukkan bahwa mereka telah menyadari adanya ketentuan-ketentuan alam dan masalah perilaku individu, kelompok atau suku bangsa. Masyarakat zaman dahulu telah mempelajari bahwa kelangsungan hidup, kedamaian dan kebahagiaan bagi setiap individu atau kelompok hanya dapat dijamin dengan cara hidup sesuai aturan yang telah ditetapkan oleh kelompok itu. Adanya berbagai ritus dan upacara membuktikan bahwa mereka telah mempunyai aturan perilaku dan moral yang dianggap perlu demi untuk kesejahteraan masyarakat secara umum.
Kegunaan Etika
Berbeda dengan ajaran moral, etika tidak dimaksudkan untuk secara langsung dapat membuat manusia menjadi lebih baik. Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas. Terdapat empat alasan mengapa etika semakin diperlukan pada zaman ini.
Pertama, masyarakat sekarang ini semakin pluralistik atau majemuk, baik dari suku, daerah, agama yang berbeda-beda; demikian pula dalam bidang moralitas. Kita berhadapan dengan sekian banyak pandangan moral yang sering saling bertentangan. Mana yang mau diikuti, apakah yang diterima dari orang tua kita dahulu, moralitas tradisional desa, atau moralitas yang ditawarkan melalui media massa ?
Kedua, masa transformasi (perubahan) masyarakat yang tanpa tanding. Perubahan yang diakibatkan gelombang modernisasi merupakan kekuatan yang menghantam semua segi kehidupan manusia. Kehidupan di kota sudah jauh berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dalam transformasi ekonomi, sosial, intelektual dan budaya itu nilai-nilai budaya tradisional ditantang semuanya. Dalam situasi inilah etika membantu kita agar jangan kehilangan orientasi, dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa yang boleh saja berubah, dan dengan demikian tetap sanggup untuk mengambil sikap-sikap yang dapat kita pertanggungjawabkan.
Ketiga, perubahan sosial budaya yang terjadi itu dapat dipergunakan oleh pelbagai pihak untuk memancing di air keruh. Mereka menawarkan ideologi-ideologi mereka sebagai obat penyelamat. Etika dapat membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi tersebut secara kritis dan objektif, dan untuk membentuk penilaian kita sendiri, agar tidak terlalu mudah terpancing. Etika juga membantu kita jangan naif atau ekstrem, yaitu jangan cepat-cepat memeluk segala pandangan yang baru, tetapi juga jangan menolak nilai-nilai hanya karena baru dan belum biasa.
Keempat, etika juga diperlukan oleh kaum agama yang di satu fihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka, dan di lain pihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dengan tidak menutup diri dari semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah itu.
Etika dan Agama
Etika memang tidak dapat menggantikan agama, tetapi di lain pihak etika juga tidak bertentangan dengan agama, malahan diperlukan oleh agama. Terdapat 2 masalah dalam bidang moral agama yang tidak dapat dipecahkan tanpa menggunakan metode-metode etika.
Pertama, ialah masalah intpretasi terhadap perintah atau hukum yang termuat dalam wahyu. Masalahnya tidak terletak pada sudut wahyu itu sendiri, melainkan pada sudut kita sebagai manusia yang harus menangkap artinya. Manusia secara hakiki terbatas pengetahuannya, sehingga tidak pernah mendapat kepastian secara seratus persen apakah ia memahami maksud Allah yang termuat dalam wahyu secara tepat. Karena keterbatasan pengetahuan manusia itu, dapat saja ia keliru dalam membaca wahyu. Dan justru yang menyangkut kebijaksanaan hidup, para ahli dari agama yang sama pun sering berbeda pendapatnya tentang apa yang sebenarnya diharuskan atau dilarang dalam kitab wahyu. Untuk memecahkan masalah itu perlu diadakan interpretasi yang dibahas besama sampai semua sepakat bahwa itulah yang mau disampaikan Allah kepada manusia. Dalam usaha untuk menemukan apa pesan wahyu yang sebenarnya bagi kehidupan manusia itulah perlu digunakan metode-metode etika. Begitu juga etika merangsang kita untuk mempertanyakan kembali pandangan-pandangan moral agama kita. Tidak jarang ditemukan bahwa sesuatu yang kita anggap sebagai ajaran agama kita, ternyata hanyalah pendapat satu aliran teologis atau mazhab hukum tertentu, sedangkan apa yang dikatakan dalam kitab suci ternyata mengizinkan interpretasi yang lain.
Kedua ialah bagaimana masalah-masalah moral yang baru, yang tidak langsung dibahas dalam wahyu, dapat dipecahkan sesuai dengan semangat agama itu. Bagaimana menanggapi dari segi agama masalah moral yang belum terfikirkan pada waktu wahyu diterima. Contohnya ialah misalnya bayi tabung atau pencangkokan ginjal. Kedua contoh itu dalam kitab wahyu apapun tidak dibicarakan secara eksplisit., jadi paling-paling dapat ditangani melalui kias. Untuk mengambil sikap yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap masalah-masalah itu diperlukan etika.
Sebenarnya tidak perlu heran bahwa kaum agama pun memerlukan etika. Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana orang harus hidup apabila ia mau menjadi baik. Akal budi itu ciptaan Allah, dan tentunya diberikan kepada manusia untuk dipergunakan dalam semua dimensi kehidupan, bukannya disimpan saja. Karena itu orang beragama pun hendaknya mempergunakan anugerah Sang Pencipta itu, bukannya dikesampingkan dari bidang agama. Itu sebabnya mengapa justru kaum agama diharapkan betul-betul memakai rasio dan metode-metode etika.
Metode Etika
Seperti halnya dalam semua bidang filsafat lain, para ahli etika pun selalu berselisih faham tentang metode yang tepat untuk digunakan. Namun demikian ada satu cara pendekatan yang dituntut dalam semua aliran yang tergolong etika, yaitu pendekatan kritis. Pada hakekatnya etika mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran, melainkan menelaah kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut adanya pertanggungjawaban dan menyingkap adanya suatu kerancuan. Etika menuntut pertanggungjawaban moral yang dikemukakan itu dipertanggungjawabkan, jadi berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral.
Pengertian Moral
Definisi
Berbagai definisi atau pengertian moral telah dikemukakan sebagai berikut :
1.Hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang baik sebagai “kewajiban” atau “norma”
2.Sarana untuk mengukur benar tidaknya tindakan manusia
3.Kepekaan dalam pikiran, perasaan dan tindakan dibandingkan dengan tindakan-tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan (Helden, 1997 & Richard, 1971)
4.Pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan manusia (Atkinson, 1969)
Manusia dapat dinilai dari banyak segi. Seorang dosen tertentu dapat dikatakan buruk, karena cara mengajarnya hanya dengan membacakan diktat dimuka kelas. Tetapi sebagai manusia, dosen itu baik karena sering membantu mahasiswa dalam belajar, jujur dan dapat dipercaya., selalu mengatakan yang benar , dan selalu bersikap adil. Sebaliknya ada seorang dokter ahli yang sangat sukses dalam profesinya, tetapi mata duitan karena memasang tarif konsultasi sangat tinggi.
Penilaian terhadap seseorang dari profesinya hanya menyangkut satu segi atau satu aspek saja dari orang itu sebagai manusia. Kata moral mengacu pada baik-buruknya seseorang sebagai manusia, yang bukan saja baik buruk menyangkut profesinya, misalnya sebagai dosen, tukang masak, pemain tenis, melainkan sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan benar-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia, bukan hanya sebagai pelaku peran (profesi) tertentu.
Etika dan Ajaran Moral
Etika perlu dibedakan dari ajaran moral. Ajaran moral ialah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulam peraturan dan ketetapan, yang diperoleh secara lisan atau tertulis tentang bagaimana manusia arus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral ialah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, misalnya orang tua, guru/dosen, pemuka masyarakat dan agama, atau secara tidak langsung dari tulisan para bijak, misalnya orang tua, guru/dosen, pemuka masyarakat dan agama, atau secara tidak langsung dari tulisan para bijak, misalnya yang tertulis dalam lontara.
Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan suatu ajaran, sehingga mempunyai tingkatan yang berbeda. Yang mengatur bagaimana kita harus hidup adalah ajaran moral. Etika berkaitan dengan pengertian mengenai mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana sikap kita yang bertanggungjawab terhadap pelbagai ajaran moral. Etika berusaha untuk mengerti mengapa atau atas dasar apa kita harus hidup menurut norma-norma tertentu.
SIKAP-SIKAP KEPRIBADIAN MORAL YANG KUAT
1. Kejujuran
Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju selangkah pun karena kita belum berani menjadi diri kita sendiri. Tanpa kejujuran keutamaan-keutamaan moral lainnya kehilangan nilai mereka. Bersikap baik terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran, adalah kemunafikan dan sering beracun. Hal yang sama berlaku bagi sikap tenggang rasa dan mawas diri: tanpa kejujuran dua sikap itu tidak lebih dari sikap berhati-hati dengan tujuan untuk tidak ketahuan maksud yang sebenarnya.
Bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua: Pertama, sikap terbuka, kedua bersikap fair. Terbuka berarti: orang boleh tahu, siapa kita ini. Dengan terbuka tidak dimaksud bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya, atau bahwa orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita. Kita berhak atas batin kita. Melainkan yang dimaksud ialah bahwa kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri. Sesuai dengan keyakinan kita. Kita tidak menyembunyikan wajah kita yang sebenarnya.
Kedua, terhadap orang lain orang jujur bersikap wajar atau fair: ia memperlakukannya menurut standar-standar yang diharapkannya dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain, ia selalu akan memenuhi janji yang diberikan, juga terhadap orang yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya. Ia tidak pernah akan bertindak bertentangan dengan suara hati atau keyakinannya. Keselarasan yang berdasarkan kepalsuan, ketidakadilan dan kebohongan akan disobeknya.
Lankah awal untuk menerapkan sikap tersebut adalah dengan kita berhenti membohongi diri kita sendiri. Kita harus berani melihat diri seadanya. Kita harus berhenti main sandiwara, bukan hanya terhadap orang lain, melainkan terhadap kita sendiri. Kita perlu melawan kecondongan untuk berasionalisasi, menghindari show dan pembawaan berlebih-lebihan. Orang jujur tidak perlu mengkompensasikan perasaan minder dengan menjadi otoriter dan menindas orang lain.
Maka amatlah penting agar kita mulai menjadi jujur.
2. Nilai-nilai otentik
Di sini tempatnya untuk beberapa kata tentang sesuatu yang erat hubungannya dengan hal kejujuran dan juga sangat penting kalau kita mau menjadi orang yang kuat dan matang: Kita harus menjadi otentik. Otentik berarti, kita menjadi diri kita sendiri. Kita bukan orang jiplakan, orang tiruan, orang-orangan yang hanya bisa membeo saja, yang tidak mempunyai sikap dan pendirian sendiri karena ia dalam segala-galanya mengikuti mode, atau pendapat umum dan arah angin.
Ketidakotentikan itu bisa terdapat di segala bidang nilai. Begitu halnya orang yang dalam segala-galanya mengikuti mode. Atau orang yang merasa malu apabila tidak tahu lagu pop terakhir, atau yang takut ”ketinggalan zaman” kalau kelihatan tidak memakai spray pembersih meja mutakhir. Atau di bidang estetis, kalau orang kaya suka arsitektur gaya Spanyol, tetapi hanya karena gaya itu sedang ”in” di kalangan orang berada ”masa kini” dan bukan karena ia memang meminatinya. Di bidang politik seorang mahasiswa yang ”kritis” dan ”pemberontak” karena itulah gaya mahasiswa, tetapi di rumahnya ia bersikap feodal. Atau sebaliknya si pejabat yang menghafalkan semua istilah penataran ideologi negara.
”Otentik” berarti ”asli”. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadiannya yang sebenarnya. Manusia yang tidak otentik adalah manusia yang dicetak dari luar, yang dalam segala-galanya menyesuaikan diri dengan harapan lingkungan; orang yang seakan-akan tidak mempunyai kepribadian sendiri melainkan terbentuk oleh peranan yang ditimpakan kepadanya oleh masyarakat.
Ketidakotentikan itu bisa terdapat di segala bidang nilai. Begitu halnya orang yang dalam segala-galanya mengikuti mode. Atau orang yang merasa malu apabila tidak tahu lagu pop terakhir, atau yang takut ”ketinggalan zaman” kalau kelihatan tidak memakai spray pembersih meja mutakhir. Atau di bidang estetis, kalau orang kaya suka arsitektur gaya Spanyol, tetapi hanya karena gaya itu sedang ”in” di kalangan orang berada ”masa kini” dan bukan karena ia memang meminatinya. Di bidang politik seorang mahasiswa yang ”kritis” dan ”pemberontak” karena itulah gaya mahasiswa, tetapi di rumahnya ia bersikap feodal. Atau sebaliknya si pejabat yang menghafalkan semua istilah penataran ideologi negara.
3. Kesediaan untuk bertanggung jawab
Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita. Kita merasa terikat untuk menyelesaikannya, demi tugas itu sendiri. Sikap itu tidak memberikan ruang pada pamrih kita. Kita akan melaksanakannya dengan sebaik mungkin, meskipun dituntut pengorbanan atau kurang menguntungkan atau ditentang oleh orang lain. Tugas itu bukan sekedar masalah di mana kita berusaha untuk menyelamatkan diri tanpa menimbulkan kesan yang buruk, melainkan tugas itu kita rasakan sebagai sesuatu yang mulai sekarang harus kita emong, kita pelihara, kita selesaikan dengan baik, bahkan andaikata tidak ada orang yang perduli. Merasa bertanggung jawab berarti bahwa meskipun orang lain tidak melihat, kita tidak merasa puas sampai pekerjaan itu diselesaikan sampai tuntas.
Kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta, dan untuk memberikan, pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Kalau ia ternyata lalai atau melakukan kesalahan, ia bersedia untuk dipersalahkan. Ia tidak pernah akan melemparkan tanggung jawab atas suatu kesalahan yang diperbuatnya kepada bawahan. Sebaliknya, sebagai atasan ia, dengan hubungan dengan pihak luar, bersedia untuk mengaku bertanggung jawab atau suatu keteledoran, meskipun yang sebenarnya bertanggung jawab adalah seorang bawahan.
Kesediaan untuk bertanggung jawab demikian adalah tanda kekuatan batin yang sudah mantap.
4. Kemandirian moral
Keutamaan ketiga yang perlu kita capai apabila kita ingin mencapai kepribadian moral yang kuat adalah kemandirian moral. Kemandirian moral berarti bahwa kita pernah ikut-ikutan saja dengan pelbagai pandangan moral dalam lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya. Jadi kita bukan bagaikan balon yang selalu mengikuti angin. Kita tidak sekedar mengikuti apa yang biasa. Kita tidak menyesuaikan pendirian kita dengan apa yang mudah, enak, kurang berbahaya. Baik faktor-faktor dari luar: lingkungan yang berpendapat lain, kita dipermalukan atau diancam, maupun faktor-faktor dari batin kita: perasaan malu, oportunis, malas, emosi, pertimbangan untung rugi, tidak dapat menyelewengkan kita dari apa yang menjadi pendirian kita.
Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Kekuatan untuk bagaimanapun juga tidak mau berkongkalikong dalam suatu urusan atau permainan yang kita sadari sebagai tidak jujur, korup atau melanggar keadilan. Mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak dapat ”beli” oleh mayoritas, bahwa kita tidak pernah akan rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan.
5. Keberanian moral
Keberanian moral berarti berpihak pada yang lebih lemah melawan yang kuat, yang memperlakukannya dengan tidak adil. Keberanian moral tidak menyesuaikan diri dengan kekuatan-kekuatan yang ada kalau itu berarti mengkrompomikan kebenaran dan keadilan.
Orang yang berani secara moral akan membuat pengalaman yang menarik. Setiap kali ia berani mempertahankan sikap yang diyakini, ia merasa lebih kuat dan berani dalam hatinya, dalam arti bahwa ia semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu yang sering mengecewakan dia. Ia merasa lebih mandiri. Ia bagaikan batu karang di tengah-tengah sungai yang tetap kokoh dan tidak ikut arus. Ia memberikan semangat dan kekuatan berpijak bagi mereka yang lemah, yang menderita akibat kezaliman pihak-pihak yang kuat dan berkuasa.
6. Kerendahan hati
Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya. Orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya, melainkan juga kekuatannya. Tetapi ia tahu bahwa banyak hal yang dikagumi orang lain padanya bersifat kebetulan saja. Ia sadar bahwa kekuatannya dan juga kebaikannya terbatas. Tetapi ia telah menerima diri. Ia tidak gugup atau sedih karena ia bukan seorang manusia super. Justru karena itu ia kuat. Ia tidak mengambil posisi berlebihan yang sulit dipertahankan kalau ditekan. Ia tidak perlu takut bahwa kelemahannya ”ketahuan”. Ia sendiri sudah mengetahuinya dan tidak menyembunyikannya. Maka ia adalah orang yang tahu diri dalam arti yang sebenarnya.
Kerendahan hati ini tidak bertentangan dengan keberanian moral, melainkan justru prasyarat kemurniannya. Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan atau kedok untuk menyembunyikan, bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan orang lain, atau bahkan bahwa kita sebenarnya takut dan tidak berani untuk membuka diri dalam dialog kritis. Justru orang yang rendah hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar apabila betul-betul harus diberikan perlawanan. Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting dan karena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila ia sudah meyakini sikapnya sebagai tanggung jawabnya.
7. Realistis dan kritis
Sikap realistis tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja. Kita mempelajari keadaan dengan serealis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip dasar. Dengan kata lain, sikap realistis mesti berbarengan dengan sikap kritis. Tanggung jawab moral menuntut agar kita terus-menerus memperbaiki apa yang ada supaya lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia, dan supaya orang-orang dapat lebih bahagia. Prinsip-prinsip moral dasar adalah norma kritis yang kita letakkan pada keadaan.
Sikap kritis perlu juga terhadap segala macam kekuatan, kekuasaan dan wewenang dalam masyarakat. Kita tidak tunduk begitu saja, kita tidak dapat dan tidak boleh menyerahkan tanggung jawab kita kepada mereka. Penggunaan setiap wewenang harus sesuai dengan keadilan dan bertujuan untuk menciptakan syarat-syarat agar semakin banyak orang dapat lebih bahagia. Tak pernah martabat manusia boleh dikorbankan. Di luar tujuan itu wewenang mereka berhenti. Begitu pula segala macam peraturan moral tradisional perlu disaring dengan kritis. Peraturan-peraturan itu pernah bertujuan untuk menjamin keadilan dan mengarahkan hidup masyarakat kepada kebahagiaan. Tetapi apakah sekarang masih berfungsi demikian ataukah telah menjadi alat untuk mempertahankan keadaan yang justru tidak adil dan malahan membawa penderitaan?
Tanggung jawab moral yang nyata menuntut sikap realistis dan kritis. Pedomannya ialah untuk menjamin keadilan dan menciptakan suatu keadaan masyarakat yang membuka kemungkinan lebih besar dari anggota-anggota untuk membangun hidup yang lebih bebas dari penderitaan dan lebih bahagia.
Dalam kenyataannya sikap-sikap tersebut memang sangatlah sulit untuk diterapkan namun dengan adanya tekad yang bulat dan keyakinan yang mantap. Dan dengan cara kita senantiasa melatih diri untuk selalu mengamalkan dan memelihara sikap-sikap tersebut. Maka dengan seiring berjalannya waktu sikap-sikap tersebut akan mudah kita terapkan dengan sendirinya. Dan dengan demikian kita pasti akan menjadi sosok pribadi yang memiliki etika dan moral yang mantap.
Semoga tulisan ini dapat membimbing kita untuk menjadi sosok yang lebih baik dari sebelumnya. Bukan untuk menjadi yang terbaik karena yang terbaik itu hanya ada pada sosok seorang Nabi. Dan kesempurnaan hanyalah milik Tuhan semata. Walaupun langkah pertama untuk melakukan sebuah perubahan adalah langkah yang teramat sulit namun jangan pernah menyerah untuk melakukannya. Karena sejatinya manusia diciptakan untuk menjadi seorang pemimpin. Dan seorang pemimpin itu harus bisa menjadi contoh untuk rekan-rekannya.
Mari kita lakukan perubahan positif !
Referensi :
Etika dan Perilaku Oleh : Drs A.Ilham Machmud, Dipl.Sci., Apt dan Drs Frans A.Rumate, Apt. Jurusan Farmasi – FMIPA Universitas Hasanudin Tahun 2005.
NAMA : LM. FARID MUHARAM
NPM : 16 630 087
ETIKA DAN MORALITAS
Etika dan Moralitas
Pengertian Etika
1.Etika merupakan kata benda abstrak yang bersifat umum. Secara khusus penggunaan kata etika ialah misalnya etika profesi, kode etik, perilaku etis. Etika berasal dari bahasa Latin (ethicus) yang berarti karakter atau berperilaku. Berbagai definisi atau pengertian etika :
2.Nilai, norma, dan moral yang dijadikan pegangan orang/kelompok. (Bertens 1993)
3.Kumpulan azas/nilai moral dan kode etik
Ilmu tentang perbedaan tingkah laku yang baik dan buruk dalam kehidupan manusia.
4.Cara manusia memperlakukan sesama dan menjalani hidup dan kehidupan dengan baik, sesuai aturan yang berlaku di masyarakat. (Algermond Black 1993)
5.Yang paling sederhana: Perilaku standar yang dirumuskan oleh suatu ras atau bangsa.
6.Pengetahuan tentang moral, pengembangan studi tentang prinsip-prinsip tugas manusia.
7.Pengetahuan tentang filsafat, atau pengetahuan tentang perilaku moral. Perilaku moral artinya perilaku yang mempertimbangkan baik dan buruk, atau tentang apa yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
8.Pengetahuan tentang kewajiban moral, atau lebih luas lagi, pengetahuan tentang perilaku manusia yang ideal dan hasil akhir tindakan manusia yang ideal.
9.Kamus Bahasa Indonesia : Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang tidak sesuai dengan ukuran moral atau akhlak yang dianut oleh masyarakat luas.
10.Ukuran nilai mengenai apa yang salah dan benar sesuai dengan anggapan umum (anutan) masyarakat.
Dari kata etik (bahasa Inggris: ethics) atau etika telah diturunkan :
a.Etiket (dari bahasa Belanda), yaitu carik kertas yang ditempelkan pada kemasan barang-barang dagang yang bertuliskan nama, isi, dan aturan penggunaan barang itu.
b. Etiket (dari bahasa Perancis: etiquette), ialah adat sopan santun atau tata krama yang perlu selalu diperhatikan di pergaulan agar hubungan selalu baik.
c. Etichals (Inggris), ialah golongan obat yang tidak boleh dijual tanpa resep, yaitu Obat Daftar G dan O..
Sejarah Etika
Telaah etika sebagai suatu pengetahuan dapat ditelusuri sampai kurang lebih 2500 tahun silam pada saat Socrates (seorang filsuf) mengungkapkan etika itu sebagai sesuatu yang diatur oleh prinsip-prinsip yang mendapat pengakuan umum masyarakat, yaitu bahwa ”sesuatu yang dianggap baik oleh seseorang juga baik bagi semua orang, dan apa yang menjadi kewajiban tetangga juga menjadi kewajiban saya” (Socrates 470-347 SM adalah ahli pikir/filosof Yunani yang meletakkan dasar-dasar filsafat).
Bukan berarti bahwa pada zaman Yunani kuno itu diciptakan pengetahuan tentang etika. Yang benar ialah bahwa pada waktu itu mereka telah mengembangkannya secara ilmiah dan terorganisasi dalam usaha mempelajari cara hidup dan perilaku manusia. Telah diketahui pula bahwa jauh sebelum zaman itu masyarakat kuno telah mengenal kebiasaan-kebiasaan, peradaban, ritus dan upacara-upacara yang menunjukkan bahwa mereka telah menyadari adanya ketentuan-ketentuan alam dan masalah perilaku individu, kelompok atau suku bangsa. Masyarakat zaman dahulu telah mempelajari bahwa kelangsungan hidup, kedamaian dan kebahagiaan bagi setiap individu atau kelompok hanya dapat dijamin dengan cara hidup sesuai aturan yang telah ditetapkan oleh kelompok itu. Adanya berbagai ritus dan upacara membuktikan bahwa mereka telah mempunyai aturan perilaku dan moral yang dianggap perlu demi untuk kesejahteraan masyarakat secara umum.
Kegunaan Etika
Berbeda dengan ajaran moral, etika tidak dimaksudkan untuk secara langsung dapat membuat manusia menjadi lebih baik. Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas. Terdapat empat alasan mengapa etika semakin diperlukan pada zaman ini.
Pertama, masyarakat sekarang ini semakin pluralistik atau majemuk, baik dari suku, daerah, agama yang berbeda-beda; demikian pula dalam bidang moralitas. Kita berhadapan dengan sekian banyak pandangan moral yang sering saling bertentangan. Mana yang mau diikuti, apakah yang diterima dari orang tua kita dahulu, moralitas tradisional desa, atau moralitas yang ditawarkan melalui media massa ?
Kedua, masa transformasi (perubahan) masyarakat yang tanpa tanding. Perubahan yang diakibatkan gelombang modernisasi merupakan kekuatan yang menghantam semua segi kehidupan manusia. Kehidupan di kota sudah jauh berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dalam transformasi ekonomi, sosial, intelektual dan budaya itu nilai-nilai budaya tradisional ditantang semuanya. Dalam situasi inilah etika membantu kita agar jangan kehilangan orientasi, dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa yang boleh saja berubah, dan dengan demikian tetap sanggup untuk mengambil sikap-sikap yang dapat kita pertanggungjawabkan.
Ketiga, perubahan sosial budaya yang terjadi itu dapat dipergunakan oleh pelbagai pihak untuk memancing di air keruh. Mereka menawarkan ideologi-ideologi mereka sebagai obat penyelamat. Etika dapat membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi tersebut secara kritis dan objektif, dan untuk membentuk penilaian kita sendiri, agar tidak terlalu mudah terpancing. Etika juga membantu kita jangan naif atau ekstrem, yaitu jangan cepat-cepat memeluk segala pandangan yang baru, tetapi juga jangan menolak nilai-nilai hanya karena baru dan belum biasa.
Keempat, etika juga diperlukan oleh kaum agama yang di satu fihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka, dan di lain pihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dengan tidak menutup diri dari semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah itu.
Etika dan Agama
Etika memang tidak dapat menggantikan agama, tetapi di lain pihak etika juga tidak bertentangan dengan agama, malahan diperlukan oleh agama. Terdapat 2 masalah dalam bidang moral agama yang tidak dapat dipecahkan tanpa menggunakan metode-metode etika.
Pertama, ialah masalah intpretasi terhadap perintah atau hukum yang termuat dalam wahyu. Masalahnya tidak terletak pada sudut wahyu itu sendiri, melainkan pada sudut kita sebagai manusia yang harus menangkap artinya. Manusia secara hakiki terbatas pengetahuannya, sehingga tidak pernah mendapat kepastian secara seratus persen apakah ia memahami maksud Allah yang termuat dalam wahyu secara tepat. Karena keterbatasan pengetahuan manusia itu, dapat saja ia keliru dalam membaca wahyu. Dan justru yang menyangkut kebijaksanaan hidup, para ahli dari agama yang sama pun sering berbeda pendapatnya tentang apa yang sebenarnya diharuskan atau dilarang dalam kitab wahyu. Untuk memecahkan masalah itu perlu diadakan interpretasi yang dibahas besama sampai semua sepakat bahwa itulah yang mau disampaikan Allah kepada manusia. Dalam usaha untuk menemukan apa pesan wahyu yang sebenarnya bagi kehidupan manusia itulah perlu digunakan metode-metode etika. Begitu juga etika merangsang kita untuk mempertanyakan kembali pandangan-pandangan moral agama kita. Tidak jarang ditemukan bahwa sesuatu yang kita anggap sebagai ajaran agama kita, ternyata hanyalah pendapat satu aliran teologis atau mazhab hukum tertentu, sedangkan apa yang dikatakan dalam kitab suci ternyata mengizinkan interpretasi yang lain.
Kedua ialah bagaimana masalah-masalah moral yang baru, yang tidak langsung dibahas dalam wahyu, dapat dipecahkan sesuai dengan semangat agama itu. Bagaimana menanggapi dari segi agama masalah moral yang belum terfikirkan pada waktu wahyu diterima. Contohnya ialah misalnya bayi tabung atau pencangkokan ginjal. Kedua contoh itu dalam kitab wahyu apapun tidak dibicarakan secara eksplisit., jadi paling-paling dapat ditangani melalui kias. Untuk mengambil sikap yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap masalah-masalah itu diperlukan etika.
Sebenarnya tidak perlu heran bahwa kaum agama pun memerlukan etika. Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana orang harus hidup apabila ia mau menjadi baik. Akal budi itu ciptaan Allah, dan tentunya diberikan kepada manusia untuk dipergunakan dalam semua dimensi kehidupan, bukannya disimpan saja. Karena itu orang beragama pun hendaknya mempergunakan anugerah Sang Pencipta itu, bukannya dikesampingkan dari bidang agama. Itu sebabnya mengapa justru kaum agama diharapkan betul-betul memakai rasio dan metode-metode etika.
Metode Etika
Seperti halnya dalam semua bidang filsafat lain, para ahli etika pun selalu berselisih faham tentang metode yang tepat untuk digunakan. Namun demikian ada satu cara pendekatan yang dituntut dalam semua aliran yang tergolong etika, yaitu pendekatan kritis. Pada hakekatnya etika mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran, melainkan menelaah kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut adanya pertanggungjawaban dan menyingkap adanya suatu kerancuan. Etika menuntut pertanggungjawaban moral yang dikemukakan itu dipertanggungjawabkan, jadi berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral.
Pengertian Moral
Definisi
Berbagai definisi atau pengertian moral telah dikemukakan sebagai berikut :
1.Hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang baik sebagai “kewajiban” atau “norma”
2.Sarana untuk mengukur benar tidaknya tindakan manusia
3.Kepekaan dalam pikiran, perasaan dan tindakan dibandingkan dengan tindakan-tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan (Helden, 1997 & Richard, 1971)
4.Pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan manusia (Atkinson, 1969)
Manusia dapat dinilai dari banyak segi. Seorang dosen tertentu dapat dikatakan buruk, karena cara mengajarnya hanya dengan membacakan diktat dimuka kelas. Tetapi sebagai manusia, dosen itu baik karena sering membantu mahasiswa dalam belajar, jujur dan dapat dipercaya., selalu mengatakan yang benar , dan selalu bersikap adil. Sebaliknya ada seorang dokter ahli yang sangat sukses dalam profesinya, tetapi mata duitan karena memasang tarif konsultasi sangat tinggi.
Penilaian terhadap seseorang dari profesinya hanya menyangkut satu segi atau satu aspek saja dari orang itu sebagai manusia. Kata moral mengacu pada baik-buruknya seseorang sebagai manusia, yang bukan saja baik buruk menyangkut profesinya, misalnya sebagai dosen, tukang masak, pemain tenis, melainkan sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan benar-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia, bukan hanya sebagai pelaku peran (profesi) tertentu.
Etika dan Ajaran Moral
Etika perlu dibedakan dari ajaran moral. Ajaran moral ialah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulam peraturan dan ketetapan, yang diperoleh secara lisan atau tertulis tentang bagaimana manusia arus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral ialah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, misalnya orang tua, guru/dosen, pemuka masyarakat dan agama, atau secara tidak langsung dari tulisan para bijak, misalnya orang tua, guru/dosen, pemuka masyarakat dan agama, atau secara tidak langsung dari tulisan para bijak, misalnya yang tertulis dalam lontara.
Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan suatu ajaran, sehingga mempunyai tingkatan yang berbeda. Yang mengatur bagaimana kita harus hidup adalah ajaran moral. Etika berkaitan dengan pengertian mengenai mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana sikap kita yang bertanggungjawab terhadap pelbagai ajaran moral. Etika berusaha untuk mengerti mengapa atau atas dasar apa kita harus hidup menurut norma-norma tertentu.
SIKAP-SIKAP KEPRIBADIAN MORAL YANG KUAT
1. Kejujuran
Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju selangkah pun karena kita belum berani menjadi diri kita sendiri. Tanpa kejujuran keutamaan-keutamaan moral lainnya kehilangan nilai mereka. Bersikap baik terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran, adalah kemunafikan dan sering beracun. Hal yang sama berlaku bagi sikap tenggang rasa dan mawas diri: tanpa kejujuran dua sikap itu tidak lebih dari sikap berhati-hati dengan tujuan untuk tidak ketahuan maksud yang sebenarnya.
Bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua: Pertama, sikap terbuka, kedua bersikap fair. Terbuka berarti: orang boleh tahu, siapa kita ini. Dengan terbuka tidak dimaksud bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya, atau bahwa orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita. Kita berhak atas batin kita. Melainkan yang dimaksud ialah bahwa kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri. Sesuai dengan keyakinan kita. Kita tidak menyembunyikan wajah kita yang sebenarnya.
Kedua, terhadap orang lain orang jujur bersikap wajar atau fair: ia memperlakukannya menurut standar-standar yang diharapkannya dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain, ia selalu akan memenuhi janji yang diberikan, juga terhadap orang yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya. Ia tidak pernah akan bertindak bertentangan dengan suara hati atau keyakinannya. Keselarasan yang berdasarkan kepalsuan, ketidakadilan dan kebohongan akan disobeknya.
Lankah awal untuk menerapkan sikap tersebut adalah dengan kita berhenti membohongi diri kita sendiri. Kita harus berani melihat diri seadanya. Kita harus berhenti main sandiwara, bukan hanya terhadap orang lain, melainkan terhadap kita sendiri. Kita perlu melawan kecondongan untuk berasionalisasi, menghindari show dan pembawaan berlebih-lebihan. Orang jujur tidak perlu mengkompensasikan perasaan minder dengan menjadi otoriter dan menindas orang lain.
Maka amatlah penting agar kita mulai menjadi jujur.
2. Nilai-nilai otentik
Di sini tempatnya untuk beberapa kata tentang sesuatu yang erat hubungannya dengan hal kejujuran dan juga sangat penting kalau kita mau menjadi orang yang kuat dan matang: Kita harus menjadi otentik. Otentik berarti, kita menjadi diri kita sendiri. Kita bukan orang jiplakan, orang tiruan, orang-orangan yang hanya bisa membeo saja, yang tidak mempunyai sikap dan pendirian sendiri karena ia dalam segala-galanya mengikuti mode, atau pendapat umum dan arah angin.
Ketidakotentikan itu bisa terdapat di segala bidang nilai. Begitu halnya orang yang dalam segala-galanya mengikuti mode. Atau orang yang merasa malu apabila tidak tahu lagu pop terakhir, atau yang takut ”ketinggalan zaman” kalau kelihatan tidak memakai spray pembersih meja mutakhir. Atau di bidang estetis, kalau orang kaya suka arsitektur gaya Spanyol, tetapi hanya karena gaya itu sedang ”in” di kalangan orang berada ”masa kini” dan bukan karena ia memang meminatinya. Di bidang politik seorang mahasiswa yang ”kritis” dan ”pemberontak” karena itulah gaya mahasiswa, tetapi di rumahnya ia bersikap feodal. Atau sebaliknya si pejabat yang menghafalkan semua istilah penataran ideologi negara.
”Otentik” berarti ”asli”. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadiannya yang sebenarnya. Manusia yang tidak otentik adalah manusia yang dicetak dari luar, yang dalam segala-galanya menyesuaikan diri dengan harapan lingkungan; orang yang seakan-akan tidak mempunyai kepribadian sendiri melainkan terbentuk oleh peranan yang ditimpakan kepadanya oleh masyarakat.
Ketidakotentikan itu bisa terdapat di segala bidang nilai. Begitu halnya orang yang dalam segala-galanya mengikuti mode. Atau orang yang merasa malu apabila tidak tahu lagu pop terakhir, atau yang takut ”ketinggalan zaman” kalau kelihatan tidak memakai spray pembersih meja mutakhir. Atau di bidang estetis, kalau orang kaya suka arsitektur gaya Spanyol, tetapi hanya karena gaya itu sedang ”in” di kalangan orang berada ”masa kini” dan bukan karena ia memang meminatinya. Di bidang politik seorang mahasiswa yang ”kritis” dan ”pemberontak” karena itulah gaya mahasiswa, tetapi di rumahnya ia bersikap feodal. Atau sebaliknya si pejabat yang menghafalkan semua istilah penataran ideologi negara.
3. Kesediaan untuk bertanggung jawab
Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita. Kita merasa terikat untuk menyelesaikannya, demi tugas itu sendiri. Sikap itu tidak memberikan ruang pada pamrih kita. Kita akan melaksanakannya dengan sebaik mungkin, meskipun dituntut pengorbanan atau kurang menguntungkan atau ditentang oleh orang lain. Tugas itu bukan sekedar masalah di mana kita berusaha untuk menyelamatkan diri tanpa menimbulkan kesan yang buruk, melainkan tugas itu kita rasakan sebagai sesuatu yang mulai sekarang harus kita emong, kita pelihara, kita selesaikan dengan baik, bahkan andaikata tidak ada orang yang perduli. Merasa bertanggung jawab berarti bahwa meskipun orang lain tidak melihat, kita tidak merasa puas sampai pekerjaan itu diselesaikan sampai tuntas.
Kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta, dan untuk memberikan, pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Kalau ia ternyata lalai atau melakukan kesalahan, ia bersedia untuk dipersalahkan. Ia tidak pernah akan melemparkan tanggung jawab atas suatu kesalahan yang diperbuatnya kepada bawahan. Sebaliknya, sebagai atasan ia, dengan hubungan dengan pihak luar, bersedia untuk mengaku bertanggung jawab atau suatu keteledoran, meskipun yang sebenarnya bertanggung jawab adalah seorang bawahan.
Kesediaan untuk bertanggung jawab demikian adalah tanda kekuatan batin yang sudah mantap.
4. Kemandirian moral
Keutamaan ketiga yang perlu kita capai apabila kita ingin mencapai kepribadian moral yang kuat adalah kemandirian moral. Kemandirian moral berarti bahwa kita pernah ikut-ikutan saja dengan pelbagai pandangan moral dalam lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya. Jadi kita bukan bagaikan balon yang selalu mengikuti angin. Kita tidak sekedar mengikuti apa yang biasa. Kita tidak menyesuaikan pendirian kita dengan apa yang mudah, enak, kurang berbahaya. Baik faktor-faktor dari luar: lingkungan yang berpendapat lain, kita dipermalukan atau diancam, maupun faktor-faktor dari batin kita: perasaan malu, oportunis, malas, emosi, pertimbangan untung rugi, tidak dapat menyelewengkan kita dari apa yang menjadi pendirian kita.
Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Kekuatan untuk bagaimanapun juga tidak mau berkongkalikong dalam suatu urusan atau permainan yang kita sadari sebagai tidak jujur, korup atau melanggar keadilan. Mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak dapat ”beli” oleh mayoritas, bahwa kita tidak pernah akan rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan.
5. Keberanian moral
Keberanian moral berarti berpihak pada yang lebih lemah melawan yang kuat, yang memperlakukannya dengan tidak adil. Keberanian moral tidak menyesuaikan diri dengan kekuatan-kekuatan yang ada kalau itu berarti mengkrompomikan kebenaran dan keadilan.
Orang yang berani secara moral akan membuat pengalaman yang menarik. Setiap kali ia berani mempertahankan sikap yang diyakini, ia merasa lebih kuat dan berani dalam hatinya, dalam arti bahwa ia semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu yang sering mengecewakan dia. Ia merasa lebih mandiri. Ia bagaikan batu karang di tengah-tengah sungai yang tetap kokoh dan tidak ikut arus. Ia memberikan semangat dan kekuatan berpijak bagi mereka yang lemah, yang menderita akibat kezaliman pihak-pihak yang kuat dan berkuasa.
6. Kerendahan hati
Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya. Orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya, melainkan juga kekuatannya. Tetapi ia tahu bahwa banyak hal yang dikagumi orang lain padanya bersifat kebetulan saja. Ia sadar bahwa kekuatannya dan juga kebaikannya terbatas. Tetapi ia telah menerima diri. Ia tidak gugup atau sedih karena ia bukan seorang manusia super. Justru karena itu ia kuat. Ia tidak mengambil posisi berlebihan yang sulit dipertahankan kalau ditekan. Ia tidak perlu takut bahwa kelemahannya ”ketahuan”. Ia sendiri sudah mengetahuinya dan tidak menyembunyikannya. Maka ia adalah orang yang tahu diri dalam arti yang sebenarnya.
Kerendahan hati ini tidak bertentangan dengan keberanian moral, melainkan justru prasyarat kemurniannya. Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan atau kedok untuk menyembunyikan, bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan orang lain, atau bahkan bahwa kita sebenarnya takut dan tidak berani untuk membuka diri dalam dialog kritis. Justru orang yang rendah hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar apabila betul-betul harus diberikan perlawanan. Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting dan karena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila ia sudah meyakini sikapnya sebagai tanggung jawabnya.
7. Realistis dan kritis
Sikap realistis tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja. Kita mempelajari keadaan dengan serealis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip dasar. Dengan kata lain, sikap realistis mesti berbarengan dengan sikap kritis. Tanggung jawab moral menuntut agar kita terus-menerus memperbaiki apa yang ada supaya lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia, dan supaya orang-orang dapat lebih bahagia. Prinsip-prinsip moral dasar adalah norma kritis yang kita letakkan pada keadaan.
Sikap kritis perlu juga terhadap segala macam kekuatan, kekuasaan dan wewenang dalam masyarakat. Kita tidak tunduk begitu saja, kita tidak dapat dan tidak boleh menyerahkan tanggung jawab kita kepada mereka. Penggunaan setiap wewenang harus sesuai dengan keadilan dan bertujuan untuk menciptakan syarat-syarat agar semakin banyak orang dapat lebih bahagia. Tak pernah martabat manusia boleh dikorbankan. Di luar tujuan itu wewenang mereka berhenti. Begitu pula segala macam peraturan moral tradisional perlu disaring dengan kritis. Peraturan-peraturan itu pernah bertujuan untuk menjamin keadilan dan mengarahkan hidup masyarakat kepada kebahagiaan. Tetapi apakah sekarang masih berfungsi demikian ataukah telah menjadi alat untuk mempertahankan keadaan yang justru tidak adil dan malahan membawa penderitaan?
Tanggung jawab moral yang nyata menuntut sikap realistis dan kritis. Pedomannya ialah untuk menjamin keadilan dan menciptakan suatu keadaan masyarakat yang membuka kemungkinan lebih besar dari anggota-anggota untuk membangun hidup yang lebih bebas dari penderitaan dan lebih bahagia.
Dalam kenyataannya sikap-sikap tersebut memang sangatlah sulit untuk diterapkan namun dengan adanya tekad yang bulat dan keyakinan yang mantap. Dan dengan cara kita senantiasa melatih diri untuk selalu mengamalkan dan memelihara sikap-sikap tersebut. Maka dengan seiring berjalannya waktu sikap-sikap tersebut akan mudah kita terapkan dengan sendirinya. Dan dengan demikian kita pasti akan menjadi sosok pribadi yang memiliki etika dan moral yang mantap.
Semoga tulisan ini dapat membimbing kita untuk menjadi sosok yang lebih baik dari sebelumnya. Bukan untuk menjadi yang terbaik karena yang terbaik itu hanya ada pada sosok seorang Nabi. Dan kesempurnaan hanyalah milik Tuhan semata. Walaupun langkah pertama untuk melakukan sebuah perubahan adalah langkah yang teramat sulit namun jangan pernah menyerah untuk melakukannya. Karena sejatinya manusia diciptakan untuk menjadi seorang pemimpin. Dan seorang pemimpin itu harus bisa menjadi contoh untuk rekan-rekannya.
Mari kita lakukan perubahan positif !
Referensi :
Etika dan Perilaku Oleh : Drs A.Ilham Machmud, Dipl.Sci., Apt dan Drs Frans A.Rumate, Apt. Jurusan Farmasi – FMIPA Universitas Hasanudin Tahun 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar